TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bibirnya merah bergincu.
Baju ketatnya mengikuti garis tubuh yang sintal. Tangannya melambai
ketika beberapa kendaraan bermotor melambatkan laju, hingga berhenti di
depannya.
Gerakan manja pun keluar dari tubuhnya. Menarik para pria hidung belang untuk tunduk di hadapannya.
"Rp
100 ribu aja bang, kita ke depan Stasiun Jatinegara, di situ ada kamar
kok. Aku bisa naik ojek, kamu ngikutin dari belakang. Bayar Rp 20 ribu,
ya sudah, tinggal dipotong aja," ujarnya saat Kompas.com menelusuri
kegiatan itu, Sabtu (28/7/2012) malam.
Itulah gambaran kehidupan
malam di Jalan Raya Bekasi Timur, Jatinegara, Jakarta Timur. Meski
memasuki bulan Ramadan, aktivitas esek-esek pinggir jalan seakan tak
mengenal kata henti. Menjelang petang, gadis-gadis belia bermunculan
dari gelapnya tembok pinggir rel, memenuhi sekitar 100 meter jalan yang
mengarah ke Pulogadung.
"Emang ngaruh kalo bulan puasa? Enggak ngaruh kali," jawab Jawilem, salah satu PSK (Pekerja Seks Komersil) dengan santai.
Meski
bulan puasa, wanita yang jika matahari terbit mengaku ikut berpuasa
mengatakan, pelanggannya tak berkurang secara signifikan.
Hari itu
saja, Jawilem yang menurut si empunya nama merupakan singkatan dari
'Dijawil Ora Gelem', sudah melayani dua pria hidung belang sejak sore,
hampir sama dengan kondisi saat bukan bulan puasa.
"Puasa mah
tetep, emang mentang-mentang cewek malem apa! Yang sore udah sih, yang
malem belom," lanjutnya sambil meminta sebatang rokok.
Kondisi itu
senada dengan Nia, PSK lainnya. Wanita yang mangkal di sana selama
setahun terakhir mengaku, meski berpuasa, dirinya tak memiliki cara
mencari nafkah selain seperti yang dilakoninya.
Ia mengungkapkan,
penghormatannya kepada bulan suci hanya kerelaan memotong jam kerja
satu jam hingga pukul 03.00 WIB, atas alasan memenuhi kewajiban sahur.
Nia
mengaku tak takut bila aparat Satpol PP melakukan razia terhadap
orang-orang sepertinya. Selain ada 'pihak' yang menjaga, ia juga paham
seluk beluk jalan di tempat tersebut.
"Kan kalau ada Kamtib, ya tinggal kabur, gampang lah," cetusnya.
Seakan
hari biasa, kehidupan esek-esek pinggir rel itu pun makin ramai. Pukul
02.25 WIB, Jawilem dan Nia kembali beraksi, setelah beberapa sepeda
motor dan dua mobil sempat berhenti dan lewat begitu saja.
Mereka akhirnya dihampiri seorang pemuda tegap berumur sekitar kepala
dua. Setelah ngobrol sekitar lima menit, anggukan keduanya menjadi
bahasa tubuh yang terakhir di jalan tersebut, sebelum keduanya hilang
berpelukan di atas sepeda motor, bersama dinginnya malam di Bulan
Ramadan.
Jawilem, Nia, serta rekan seprofesinya, adalah potret
buram Ibu Kota. Atas alasan ekonomi, seluruh 'kupu-kupu malam' yang
kebanyakan berasal dari wilayah Jakarta dan sekitarnya, rela menjual
tubuhnya.
Ironisnya, gema takbir Ramadan tak juga mengurungkan
niat mereka untuk memutar haluan hidup. Lagi-lagi, urusan perut menjadi
alasan klise namun nyata dalam kehidupan sebagian warga metropolitan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar