Terima Kasih Atas Kunjungan Anda Pada Blog Kami

Rabu, 28 Desember 2011

Setiap Sidang Bayanah Dicambuk 50 Kali


TRIBUNNEWS.COM - Malang nian nasib Bayanah binti Banhawai (29). Alih-alih meraup rezeki riyal dengan menjadi Tenaga Kerja Indonesia di Arab Saudi, malah hidupnya harus berujung penjara.
Cita-citanya ingin mengangkat perekonomian keluarga di kampung, warga Desa Ranca Labuh, Kabupaten Tangerang, Banten, belum kesampaian. Baru dua bulan bekerja, Bayanah ditimpa musibah, dituduh membunuh anak majikan.
Tak pernah terpikirkan oleh Bayanah, akan menghadapi pengadilan atas laporan majikannya. Tiap kali menjalani sidang, ibu anak satu ini harus menjalani hukuman cambuk sebanyak 50 kali. Hukuman itu harus diterimanya selama enam kali sidang. "Dia bilang ke saya habis dicambuk sekarang dirawat. Waktu ngomong agak beda," ujar Aswati, ibunda Bayanah menceritakan nestapa Bayanah ketika ditahan di Arab, saat ditemui Tribun di kediamannya di Tangerang, Selasa (27/12).
Kasus Bayanah hanya sedikit yang tercium publik. Menurut cerita keluarga, saat menjalani persidangan, Bayanah sama sekali tidak didampingi pengacara dari pihak Kedutaan Besar RI (KBRI) di Arab. Akibatnya, ia dipaksa mengakui kesalahan dan menerima hukuman atas kesalahan yang sepenuhnya tidak dilakukan.
Ayah Bayanah, Banhawi mengaku tiap kali sidang anaknya hanya sendiri. Lebih tragis lagi, kondisi waktu itu Bayanah belum bisa lancar berbahasa Arab, karena baru bekerja tiga bulan jalan harus dihukum. "Anak saya disidang sangat lama. Hampir jalan dua tahun," ujar Banhawi kepada Tribun di rumah saudaranya.
"Waktu itu disidang enam kali, dan sidang ketujuh diputus. Tiap kali disidang, Bayanah dicambuk 50 kali. Kalau dikali enam berarti 300 kali. Waktu diputus, dia dihukum lima tahun. Tapi majikan meminta tambahan satu tahun, jadi enam tahun," kata Banhawi.
Cerita pilu yang diterima keluarga didapat Banhawi dari sepucuk surat yang dititipkan Bayanah kepada temannya. Kebetulan waktu itu, teman Bayanah orang Serang dan lebih dulu keluar tahanan dan kembali ke Indonesia lebih cepat. Dalam surat itu, kata Banhawi, anaknya hanya minta doa.
Namanya orangtua, kata Banhawi, pasti kepikiran. Apalagi komunikasi dengan anaknya yang berada di tahanan sulit dilakukan. Hampir enam tahun dia memikirkan nasib anaknya, yang saat pergi ke Riyadh, meninggalkan putra umur lima tahun, Andri Irawan. Sementara waktu itu, sang suami menceraikannya.
Di sekeliling ruang orang tuanya, tetangga memanggilnya Bayanah. Anak pertama pasangan Banhawi dan Aswati itu hanya lulusan sekolah dasar. Keinginannya untuk melanjutkan ke sekolah menengah pertama pupus. Keluarga Bayanah tak berkecukupan. Sehari-hari, ibunya adalah ibu rumah tangga. Sedang ayahnya seorang kuli serabutan.
Dua adik Bayanah, yakni Sofiah dan Badriah hanya sampai lulusan SD. Mujur, meski dengan ijazah SD, keduanya bisa menjadi buruh pabrik sepatu di Cikupa, Tangerang. Sedangkan si bungsu Lia, kini duduk di bangku kelas tiga sekolah menengah pertama. Pendidikan Lia tertolong karena pemerintah menyelenggarakan sekolah gratis.
Kondisi ekonomi lemah, tak hanya dialami keluarga Bayanah, tapi juga keluarga lainnya. Ijazah SD tak memberikan harapan banyak bagi Bayanah. Satu-satunya jalan yang ditempuh orang sekampungnya, adalah menjadi tenaga kerja Indonesia di negeri orang. Setidaknya, itu jalan keluar warga Desa Ranca Labuh, Kecamatan Kemiri, Kabupaten Tangerang, Banten.
Akhir 2005, Bayanah memutuskan mengadu peruntungan ke Arab Saudi. Ia pergi melalui salah satu perusahaan penyalur tenaga kerja yang berada di Cipinang Muara, Jakarta Timur. Dari lingkungan keluarganya, hanya Bayanah yang menjadi TKI ke Arab Saudi. Saat itu Bayanah mendapat seorang majikan di Riyadh.
Jalan tiga bulan bekerja sebagai pembantu rumah tangga, nasib sial harus diterimanya. Bayanah berurusan dengan polisi setempat karena diadukan majikannya. "Waktu memandikan anak majikannya, yang umur tujuh tahun, Bayanah membuka keran air panas," kisah Gamrawi, paman Bayanah, awal masalah yang diterima keponakannya kepada Tribunnews.com di Tangerang.
Akibatnya, anak majikan Bayanah dilarikan ke rumah sakit. Hampir dua minggu dirawat, si anak meninggal. Peristiwa itu berbuntut panjang. Polisi memidana Bayanah dan menahannya. Karena belum mampu berbicara Arab, Gamrawi menduga Bayanah dipaksa mengakui perbuatannya. Informasi itu mengagetkan keluarga Bayanah di kampung.

Editor: Prawira Maulana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar