REPUBLIKA.CO.ID, Dua sosok yang berpengaruh melontarkan Israel dalam
lingkaran kekuatan kapal selam modern ialah Helmut Kohl dan Yitzhak
Rabin. Ayah Rabin ikut berperang dalam Perang Dunia II sebagai relawan
dalam Legiun Yahudi di pasukan Inggris.
Rabin sendiri memimpin
tentara Israel menuju kemenangan, sebagai komandan pasukan gabungan,
Pertempuran Enam Hari 1967. Pada 1984, ia kembali masuk kabinet sebagai
menteri pertahanan, setelah sebelumnya ia menjadi perdana menteri pada
pertengahan 1960-an.
Rabin paham, bahwa pemerintah Jerman di Bonn
baru saja mengesahkan 'prinsip politik baru' dalam ekspor senjata,
tepatnya 1982. Menurut kebijakan baru itu, penjualan senjata tidak
'boleh berkontribusi dalam peningkatan ketegangan yang telah ada.
Pasal
karet itu akhirnya memungkinan pengiriman kapal selam Jerman ke Israel,
ditambah kombinasi pernyataan terkenal yang dibuat oleh mantan Menteri
Luar Negeri, Hans-Dietrich Genscher. "Apa pun yang mengapung, OK".
Alasannya karena pemerintah umumnya tak menggunakan kapal perang untuk
menindas demonstrasi atau pasukan oposisi.
Setelah Perang Dunia
II, Sekutu melarang Jerman membuat kapal selam besar. Alhasil, pemasok
angkatan laut Jerman, Howaldstwerke-Deustce Werf AG (HDW), yang terletak
di utara pelabuhan Kiel, harus mengubah fokus kepada kapal lebih kecil
dengan kemampuan manuver lebih tinggi yang juga bisa beroperasi di
Baltic dan Laut Utara.
Israel tertarik terhadap kapak-kapal yang
juga bisa bernavigasi di perairang dangkal, seperti di lepas pantai
Libanon, di mana mereka bisa mengandalkan periskop, mendengarkan
komunikasi radio dan membandingkan suara-suara baling-baling kapal
dengan database kapal. Israel rupanya mendapat penawaran dari Amerika
Serikat, Inggris dan Belanda. Namun kapal-kapal Jerman dianggap yang
terbaik.
Beberapa pekan setelah Tembok Berlin runtuh pada 1989,
pemerintah Jerman yang praktis tak mendapat perhatian publik, memberi
lampu hijau terhadap pembuatan dua kapal selam kelas Dolphin sebanyak
tiga unit.
Kesepakatan strategis dalam abad tersebut hampir saja
gagal. Meski Jerman setuju membayar bagian dari biaya pembuatan,
perjanjian itu secara gamblang tidak memasukkan sistem
persenjataan--bagian yang mestinya dipasok oleh AS. Sementara Isral yang
baru saja memilih pemerintahan baru, terpecah dalam soal pembayaran
investasi tersebut.
Satu hari di musim dingin 1994, pesawat
Angkatan Udara Israel mendarat di Bandara Cologne-Bonn, dalam pangkalan
militer. Penumpang saat itu ingin mendiskusikan masa depan Israel dan
Timur Tengah,
Dalam pesawat ada tiga penumpang inti yakni Perdana
Menteri Yitzhak Rabik, penasihat keamanan nasional , lalu kepala
Mossad, Shabtai Shawiv. Delegasi kecil itu diantar ke kediaman kanselor,
di mana Kohl sudah menunggu dengan penasihat politiknya, Joachim
BItterlich dan kordinator intelijen, Bernd Schmidbauer.
Pada
Malam itu, PM Israel meminta kapal selam ketiga kepada Jerman dan secara
spontan, Kohl menyetujui. Sekitar tengah malam, Rabin kembali ke
Airport.
Beberapa bulan setelah pertemuan rahasia di Bonn,
kontrak untuk kapal selam ketiga, Tekumah, diteken pada Februari 1998.
Jerman patungan dengan bagian 220 juta deutsche mark saat itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar