Terima Kasih Atas Kunjungan Anda Pada Blog Kami

Kamis, 27 Oktober 2011

Sutanto Kurang Disegani Intel TNI


TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Kapolri Sutanto hanya menjabat dua tahun menjadi komando Badan Intelijen Negara (BIN). Dia dicopot Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 19 Oktober lalu, bersamaan dengan perombakan kabinet.
Satu dosa besar Sutanto karena tidak berhasil memimpin agen-agen intelijen berlatar belakang TNI, sehingga muncul ketidakkompakan dengan agen dari kalangan Polri di dalam internal BIN.
Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane, menyatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono punya tujuan politik di balik pencopotan Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) Sutanto, bersamaan dengan perombakan kabinet, 20 Oktober lalu.
Menurut Neta, pergantian pucuk pimpinan intelejen Indonesia itu untuk mengamankan calon presiden 2014 dari Partai Demokrat. "(Pergantian) ini penting, karena SBY sudah tidak bisa maju lagi, sehingga SBY harus mengamankan calonnya agar tetap bisa terpilih sebagai presiden, sehingga dinasti Demokrat atau dinasti SBY tidak terlepas," kata Neta S Pane, Rabu (26/10/2011).
Ia menjelaskan, SBY sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat yang tak bisa maju lagi pada Pilpres 2014, karena sudah dua periode menjabat Presiden. Namun ia tak akan berdiam diri. Sehingga mengevaluasi lemahnya kinerja BIN di bawah kepemimpinan Sutanto yang merupakan mantan Kapolri tersebut. Sebab, ini akan menjadi preseden buruk di mata masyarakat yang merupakan calon pemilih.
Informasi yang didapat Neta, pergantian Kepala BIN itu karena SBY gerah terhadap banyaknya kecaman publik, khususnya tokoh-tokoh masyarakat, yang menilai kinerja BIN lemah. BUktinya langkah antisipasi dini terhadap aksi-aksi teror belakangan ini, seperti peledakan bom di dalam masjid di Polresta Cirebon, dan di dalam gereja di Solo, dua-duanya terjadi saat warga menunaikan ibadah agama.
Dengan mengembali kursi Kepala BIN ke dalam perwira tinggi militer, yakni Letjen (TNI) Marciano Norman, SBY menginginkan kinerja BIN kembali baik dan dapat dipercaya, khususnya untuk mengantisipasi dan deteksi dini terhadap perkembangan sosial politik di Indonesia, terutama menjelang Pilpres 2014. Marciano terakhir menjabat Komandan Kodiklat TNI Angkatan Darat, dan sempat menjadi orang dekat SBY sebagai Komandan Paspampres.
Namun, Neta menyayangkan perwira militer yang dipilih SBY sebagai orang nomor satu intelejen kali ini bukan orang intel. Karena itu, Neta sangsi kinerja BIN hingga 2014 dapat memenuhi harapan SBY.
Neta pun tak menampik saat BIN dipimpin Sutanto, kondolidasi agan-agen BIN sangat rapuh, pecah menjai dua kelompok atau gap, yakni intel yang berasal dari polisi dan TNI. Apalagi BIN  yang selama beberapa tahun dipimpin orang militer, tiba-tiba dipimpin Sutanto yang berasal dari polisi.
Langkah Sutanto membenahi BIN dengan memasukkan 16 jenderal polisi untuk mengisi posisi-posisi elite di BIN, mulai deputi hingga kordinator wilayah (korwil), tak cukup berhasil membenahi dan menghilangkan gap tersebut. Justru menjadi pemicu kegagalan. "Tapi, penataan Sutanto ini tidak berhasil," katanya.
Neta menduga ketidakberhasilan menghilangkan gap antara agen yang berasal dari TNI dengan agen intel dari Polri, karena Sutanto tidak punya latar belakang intelijen. Sementara, pasukan yang bekerja di bawah adalah intel-intel kawakan, yang jika tidak bisa dikendalikan justru menjadi kontraproduktif bagi kinerja intelijen negara, termasuk jika ada info intelejen penting yang tidak sampai ke Sutanto.
Neta tak melihat ataupun mendapatkan informasi valid, pergantian Kepala BIN ini karena SBY tidak nyaman terhadap Sutanto yang mulai terpengaruh politik dengan adanya tawaran bakal calon presiden dari partai koalisi Demokrat, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
"Kalau soal Sutanto dilirik PKS, sebenarnya itu kan isu lama. Saat Pilpres 2009, juga sempat muncul isu Sutanto akan dilamar PKS. Dan itu tidak mengganggu bagi SBY. Karena untuk menjadi calonnya PKS tidak mudah, ada politik mahar yang harus dilalui," jelas Neta.
Meski begitu, bukan mustahil marciano selaku kepala BIN yang baru juga akan mengalami hal yg sama, mengingat dia juga bukan orang intelijen. "Di sisi lain pencopotan Sutanto juga membuat Intelkam (Badan Intelijen dan Keamanan) Polri gelisah. Mereka khawatir akan ada persaingan yang tajam, antara intel Polri dan intel militer yang menguasai BIN," ujar Neta.
Ada pun pengamat intelejen, Mardigu, menyatakan pergantian Kepala BIN murni karena kinerja kurang Jenderal Sutanto yang berlatar belakang dari Polri, buruk. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya lebih memilih mengembalikan pucuk pimpinan BIN kepada orang yang berasal dari unsur TNI, yakni Letjen (TNI) Marciano Norman.
Mardigu tidak melihat pergantian yang dilakukan Presiden Yudhoyono yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu dikarenakan faktor politik, karena Sutanto mulai dekat dan dilirik Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai bakal calon Presiden 2014.
"Kecolongan dalam arti kurang antisipasi terhadap kejadian seperti bom Cirebon dan Solo. Kalau Kepala CIA (Badan Intelejen Amerika Serikat) kan itu bukan polisi. Pergantian ini tidak ada politik. Ini semata-mata karena kinerja Sutanto," kata Mardigu, saat dihubungi, Rabu (26/10).
Mardigu mendukung langkah Presiden Yudhoyono yang memilih Kabin dari unsur militer. Sebab, pengelolaan informasi intelejen mengacu pada keutuhan NKRI tidak semata isu lokal.
"Saya satu bulan lalu pernah menyampaikan di DPD, Komisi I dan III. Waktu itu, mereka bahas RUU intelejen. Saya bilang, kalau Kepala BIN dari polisi, antisipasinya kurang. Mereka kan biasanya urus cyber crime. Jadi, bisa-bisa Kepala BIN-nya dipintari. Mereka pada tepuk tangan.  Mungkin kata-kata itu lah yang mendukung pergantian dari militer. Jadi, UU intelejen itu sebenarnya untuk menjaga NKRI," ujarnya.
Laman Wikileaks, bulan lalu, membocorkan sejumlah dokumen rahasia Amerika Serikat yang terkait dengan Indonesia. Wikileaks memaparkan mengenai hubungan antara polisi dengan ormas Front Pembela Islam (FPI). Selain mengungkapkan mengenai FPI yang dijadikan attack dog Polri, telegram rahasia itu juga mengungkapkan bahwa mantan Kapolri yang kini menjadi  Kepala BIN Jenderal (Purn) Sutanto, adalah tokoh yang telah mendanai FPI.
Pendanaan dari Sutanto itu diberikan sebelum serangan yang dilakukan FPI ke Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, Februari 2006 silam. Namun kemudian Sutanto menghentikan aliran dananya setelah serangan terjadi.
 "Yahya Asagaf, seorang pejabat senior BIN mengatakan, Sutanto yang saat itu menjadi Kapolri menganggap FPI bermanfaat sebagai attack dog," ungkap telegram rahasia itu.
Saat pejabat kedutaan AS menanyakan manfaat FPI memainkan peran attack dog itu, karena sebenarnya polisi sudah cukup menakutkan bagi masyarakat, Yahya menjelaskan FPI digunakan sebagai alat oleh polisi, agar petugas keamanan itu tidak menerima kritik terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia. Disebutkan juga mendanai FPI adalah sudah tradisi di lingkungan Polri dan BIN.
Kawat diplomatik yang dipublikasikan Wikileaks juga mengatakan bahwa FPI mendapatkan sebagian besar dananya dari petugas keamanan, tetapi mereka harus menghadapi pemotongan dana setelah serangan dilakukan.

Penulis: Abdul Qodir  |  Editor: Hasiolan Eko P Gultom

Tidak ada komentar:

Posting Komentar