REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Dr H Fauzul Iman MA
Suatu
hari Umar bin Abdul Aziz menyewa seekor unta dari seorang pemilik unta
untuk perjalanan ke luar kota. Di tengah perjalanan yang kanan dan
kirinya penuh dengan pepohonan, tiba-tiba serban Umar tersangkut pohon
dan jatuh ke tanah. Setelah satu kilometer, Umar baru diberi tahu bahwa
serbannya terseret pohon. Lalu, Umar turun dari unta dan berjalan
mengambil serbannya.
“Wahai Amirul Mukminin mengapa engkau
mengambil sendiri serban itu? Bukankah kita bisa mengambilnya dengan
mengendarai unta,” tanya sang pemilik unta kepada Umar terheran-heran.
“Tidak, saya menyewa unta hanya untuk pergi bukan untuk kembali,” ujar
Umar. “Mengapa engkau tidak menyuruhku mengambilnya,” tanya pemilik unta
penasaran. “Tidak juga, karena serban itu bukan milikmu, tapi milikku,”
ujarnya dengan mantap.
Kisah di atas menggambarkan keteladanan
seorang pemimpin yang patut ditiru dalam memanfaatkan kedudukannya.
Meski Umar berkedudukan sebagai khalifah, ia tidak ingin seenaknya
memerintah atau memperlakukan rakyatnya tanpa kendali. Baginya,
kedudukan bukanlah sekat atau struktur egoisme atau kesombongan, tapi
menjadi jembatan untuk memberikan jalan terbaik bagi rakyatnya.
Umar
juga tak pernah melampaui batas dalam menggunakan barang milik rakyat
ketika dia harus menyewanya. Pendek kata, Umar Abdul Aziz adalah sosok
pemimpin lurus (adil) yang tidak semaunya menggunakan tenaga kaum lemah.
Ia tidak duduk terlena di atas tahta singgasana.
Umar Abdul Aziz
adalah pemimpin yang sangat cepat mencairkan kebekuan rakyat dengan
jalan arif dan memudahkan. Pangkat dan kedudukannya tidak menjadikannya
jadi penghalang untuk turun ke lapangan guna membantu dan menyelesaikan
segala kesulitan yang dihadapi rakyat. “Permudahlah urusan umat manusia
dan jangnlah kalian persulit,” sabda Nabi SAW.
Di abad modern
ini, justru terjadi perbedaan yang sangat mencolok. Sebagian pemimpin
kita masih saja senang berulah. Padahal, segala jabatan telah diraihnya.
Harta berlimpah namun tetap saja merasa kekurangan. Kemudian, seenaknya
mengambil harta negara. Baik dengan cara korupsi, mark up, mengemplang
pajak, dan money laundry (pencucian uang). Bahkan, ada yang mengambilnya
dengan cara memeras tenaga kaum lemah (buruh dan TKW).
Tindakan
hukum telah dikerahkan untuk mengatasinya. Ironisnya, kejahatan korupsi
itu tetap saja menjadi-jadi. Imbasnya justru pemerintahan tidak memiliki
wibawa untuk mencegah segala bentuk kriminalitas yang kian menjamur.
Bukan hanya korupsi, kekerasan lain seperti pembunuhan sadis,
perampokan, bahkan kekerasan geng motor pun semakin meningkat.
Semua
itu terjadi karena tiadanya keteladanan kepemimpinan. Di saat rakyat
diperintah untuk menghemat energi, para pemimpin justru lebih senang
bergelimang kemewahan dengan harta hasil korupsinya. “Negeri yang
dahulunya aman dan berlimpah kemahmuran, tiba-tiba ditimpa bencana
kelaparan dan ketakutan karena ulah perbuatan para pemimpinnya yang
ingkar pada nikmat Tuhan-Nya.” (QS An Nahl: 112).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar