Terima Kasih Atas Kunjungan Anda Pada Blog Kami

Senin, 01 Agustus 2011

Ada Tanah Putih di Makam Ju Panggola


Jelang Ramadhan 1432 H, umat Islam di Sulut dan Gorontalo berziarah ke makam leluhur mereka. Selain mengingat mati, berziarah juga menjadi momen bertemu sanak saudara. Di Gorontalo, warga banyak mengunjungi makam Ju Panggola. Selain sudah tradisi tahunan, konon ada tanah putih di makam itu.


MAKAM Ju Panggola, atau aslinya Aulia Raja Ilato berlokasi Kelurahan Dembe, Kecamatan Kota Barat, Kota Gorontalo. Sejak bulan Rajab, dua bulan sebelum Ramadhan terus menjadi lokasi tujuan peziarah dari penjuru Gorontalo. Sudah bergenerasi, warga berziarah ke makam ini bersama dengan keluarga.

Jumiati semisal, dia datang bersama keluarganya. Dia mengaku rutin setiap tahun berziarah ke makam itu. "Sudah rutin tiap tahun kesini, dari masih kecil, cuma baca doa saja," ujarnya, Minggu (31/7/2011). Begitu juga dengan Natalia, namun dia bersama keluarganya berziarah ke makam neneknya yang berada tak jauh dari makam Ju Panggola.

"Kebetulan di sini ada kuburnya nenek. Jadi sekalian ziarah dan lihat-lihat di makam Ju Panggola," katanya. Kadar Abubakar, warga sekitar makam mengatakan, kunjungan warga berlangsung sejak bulan Rajab hingga empat hari pertama di bulan Ramadhan. Dengan kata lain, sejak dua bulan terakhir lokasi itu menjadi tujuan peziarah di Gorontalo.

Khusus makam Ju Panggola, warga masih menganggapnya keramat lantaran jejak sejarah dan masa lalu sang tokoh. Di makam itu, konon terdapat tanah putih yang berdasarkan keterangan warga hanya ada di makan Ju Panggola saja. Sehingga warga menganggapnya keramat.

"Biasanya tanag putih di makamnya Ju Panggola diambil untuk ditabur di sumur yang airnya bau. Hasilnya jadi tidak bau lagi," kata Kadar menirukan keterangan peziarah.

Tidak takut syirik? "Saya sendiri juga sebenarnya takut syirik tapi hal-hal seperti itu adalah bukti kekuasaan Allah," sebutnya. Tidak hanya tanah, pada hari tertentu di sekitar makam juga mengeluarkan percikan air dengan aroma wangi. Namun sebutnya, tidak semua pezirah bisa mencium aroma itu.

Ju Panggola tutur Kadar, sejarahnya dia tiba-tiba hilang tanpa diketahui rimbanya. Namun tiba- tiba sebuah nisan muncul dan menancap di tanah putih yang berada di atas bukit wilayah kekuasaannya yang hanya sepelemparan batu dari Danau Limboto. Di sekitar nisan ada prasasti bertuliskan 1673 M, atau bertepatan 1084 H.

Di atasnya tertulis Taaloobayalipu. Hingga kini warga Gorontalo tidak tahu artinya. Sebagai raja bijak, Ju Panggola dianggap memiliki keistimewaan seperti para wali di Tanah Jawa. Yakni Walisongo. Konon, di masa hidupnya Ju Panggola bisa mendatangkan sesuatu yang di Gorontalo tidak ada.

"Ada warga ingin korma, hanya dengan meninggalkan sebentar Ju Panggola kemudian datang membawa korma. Padahal di Gorontalo tidak ada tumbuhan korma," tutur Kadar. Ju dipercaya memiliki ilmu bergerak secepat kilat. Cerita turun temurun itu pada akhirnya membuat nama Ju Panggola melegenda.

Di belakang makamnya kini merupakan mihrab imam shalat. Mihrab bagian Masjid Kuba. Namun tidak diketahui sejak kapan berdiri masjid itu. Namun diyakini dibangun sejak ditemukannya makam Ju. Masjid ini pernah terbakar hingga beberapa kali. Terakhir 1974. Namun sekarang telah dipugar sehingga menjadi lokasi kunjungan juga. Apalagi lokasinya tepat di atas bukit dengan pemandangan Danau Limboto.

Ziarah kubur juga ada di Jaton, Minahasa. Tokoh Jawa Tondano, Arifin Kyai Demak mengatakan, tradisi ziarah sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Mereka yang berziarah bukan hanya warga yang tinggal di Jaton, namun juga sanak saudara yang berada di luar kota. Mereka bertemu di Jaton.

"Ini dilakukan sebagai ajang silaturahim antarwarga. Warga bisa bertemu kerabat, teman dan warga lainnya memupuk kebersamaan," jelasnya, kemarin. Setelah ziarah, warga biasanya pergi menunaikan salat  Tarawih. Tradisi ziarah ke makam juga ramai di Bitung, termasuk di makam yang berada di Girian.

Via Pricillia (19) mengaku ikut orangtuanya berziarah. Dia terlihat sibuk mencabuti rumput di selam makam kakeknya. Saya hanya ikut-ikut. Diajak ibu. Sudah jadi tradisi," ungkapnya, kemarin. Dia datang bersama sang bunda. Mereka berdoa di makam sang kakek.

"Kalau tiap Kamis bukan hari puasa Ramadhan rutin bersih-bersih. Tapi kalau mau masuk puasa maka selama sebulan itu tidak pergi ke kubur. Nanti lagi kalau sudah perayaan hari lebaran ke kuburan lagi," kata perempuan yang bekerja di PT Angkasa Pura Manado itu. Begitu juga Widiyanto.

Sembari menyapu makam ibunya, dia mengatakan berziarah sebagai tanda bakti kepada orang tua yang telah meninggal dunia. "Anak yang saleh itu selalu ingat mereka yang telah mendahului kita. Mendoakan dan membersihkan," kata Kepala KPLP Bitung itu. Menurut Ustad Makalag, pemuka agama di Girian Bawah, sepengetahuannya sejak 1952 tradisi ziarah itu telah ada.


Editor: Hasiolan Eko P Gultom  |  Sumber: Tribun Manado

Tidak ada komentar:

Posting Komentar